Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah membangun Ka’bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri - Menjauhi dosa ke Gua Hira’- Mimpi Hakiki - Wahyu pertama.
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’
Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.”
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.”
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (‘Jilatan Darah’), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.
Mereka satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. ‘Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya - Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan Umm’l-Mu’minin.
Zaid b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya.”
Usman bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
[
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu’). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-‘Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam - ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
DENGAN duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib1 telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat: pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin’l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka’bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin’l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.3 Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd’d-Dar dan keluarga ‘Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd’d-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La’aqat’d-Dam, yakni ‘jilatan darah.’
Abu Umayya bin’l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
“Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini.”
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: “Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya.”
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Iapun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: “Kemarikan sehelai kain,” katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; “Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.”
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka’bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka’bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka’bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka’bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La’aqat’d-Dam (‘Jilatan Darah’), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd’l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd’l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Mekah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir. Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Ka’bah, ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan. Dan memang demikianlah sebenarnya, dibalik kedudukan ini Mekah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
Ada beberapa keterangan yang menyebutkan, bahwa pada suatu hari masyarakat Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan berhala ‘Uzza; empat orang di antara mereka diam-diam meninggalkan upacara itu. Mereka itu ialah: Zaid b. ‘Amr, Usman bin’l-Huwairith, ‘Ubaidullah b. Jahsy dan Waraqa b. Naufal.
Mereka satu sama lain berkata: “Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: memdengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini.”
Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. ‘Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya - Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan Umm’l-Mu’minin.
Zaid b. ‘Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka’bah: “Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya.”
Usman bin’l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Mekah akan berada di bawah kekuasaan Rumawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Mekah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Mekah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Mekah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang!? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada istennya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk-duduk di sampingnya
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
[
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, ‘Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
Ia ingn menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu’). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu’l-‘Ash bin’r-Rabi’ b.’Abd Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah - seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam - ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan ‘Utba dan ‘Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti , dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth.6
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Di puncak Gunung Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
“Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ...” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
“O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth.6
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dinnya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
Di puncak Gunung Hira, - sejauh dua farsakh7 sebelah utara Mekah -terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan ‘Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira’. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira’, ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula.” (Qur’an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira’ melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa kuatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekuatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
“Bacalah!” Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca.” Seterusnya malaikat itu berkata: “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ...” (Qur’an 96:1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya?! Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya?! Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Kuatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
“Khadijah, kenapa aku?” katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
“O putera pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,10 aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luarbiasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
Diposting Oleh : ADI WIBOWO @ Tangandunia - Kumpulan Artikel Menarik
Artikel Dari Perkawinan Nabi Muhammad Sampai Kerasulannya Semoga bermanfaat bagi sobat blogger . Terimakasih atas kunjungan Sobat Blogger yang bersedia membaca artikel ini. Kritik dan Saran sobat dapat sampaikan melalui Kotak komentar di bawah ini. Sekali Lagi saya Ucapkan Terima Kasih .
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda di sini !! Kritik dan saran AGAN sangat di perlukan.